SANKSI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF FIQH JINAYAH
Tugas Mandiri UTS Fiqh Jinayah
SANKSI
TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSEPEKTIF FIQH JINAYAH
Oleh
: Aurellia Kharisma Harsyaputri (33020210032)
Korupsi
adalah kejahatan yang sangat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari terorisme. Karena
kalau aksi teroris itu mungkin hanya menewaskan beberapa orang seperti kasus
Bom Bali, tetapi korupsi bisa membunuh seluruh warga negara yang berjumlah
jutaan karena korupsi menghancurkan dan meremukkan sendi perekonomian negara. Apabila
sendi perekonomian negara hancur, maka berarti kehidupan warga negara terancam.
Bahkan bisa terjadi krisis besar yang bisa berakibat kelaparan, pertikaian
antarwarga, kekacauan, disintegrasi, dan lain-lain.
Kasus
korupsi milyaran di Indonesia oleh pegawai perpajakan baru-baru ini menunjukkan
begitu rumit dan sistematisnya tindak pidana korupsi. Karena korupsi dilakukan
secara berjama’ah, sehingga untuk mengusutnya, diperlukan upaya keras dari para
penegak hukum. Memang aparat pemerintah telah menghukum pelaku tipikor ini. Namun
terdapat kesan bahwa hukuman itu terlalu ringan, hanya beberapa tahun saja. Sehingga
dampak berupa efek jera tidak tercapai. Dari sinilah, maka diperlukan hukuman alternative
yang lebih tegas.
Sebagai
bahan komparasi, negara Arab Saudi telah menerapkan beberapa hukum Islam
diantaranya potong tangan dan qishash. Menurut data peneliti guru besar Amerika
Serikat (Topo Santoso, 2003:135), penerapan hukum potong tangan dan qishash ini
berdampa signifikan terhadap pengurangan angka kejahatan. Bahkan mobil mewah
parkir di depan rumah tidak membuat pencuri berani menjamahnya. Demikian juga
pada saat shalah berjama’ah, kedai dagangan ditinggalkan begitu saja dan
ternyata aman-aman saja, tidak ada rasa kuatir sedikitpun dijarah oleh pejabat.
A.
Definisi Korupsi
Korupsi
berasal daru bahasa latin corruptus yang disalin dalam bahasa Inggris menjadi
corruption atau corrupt. Sementara Bahasa Belanda menjadi corruptive.
Kata korupsi lebih dekat sumbernya dari Bahasa Belanda tersebut (Andi Hamzah,
2009: 42).
Secara
harfiah, korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat
disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang
mmenghina atau memfitnah (Nurul Irfan, 2009:43).
Dalam Bahasa Arab, korupsi diartikan “fasad” yang berarti mengambil harta secara aniaya (dzalim) (Atabik Ali, 1998: 1392). Di negara Malaysia, nampaknya memakai istilah dari Bahasa Arab, karena terdapat istilah “resuwah” yang berasal dari risywah yang berarti sogok atau suap yang juga berarti korupsi.
B.
Definisi tindak pidana korupsi
Tindak
pidana berarti perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum
yang diancam degan sanksi pidana (Nurul Irfan: 31). Jadi tindak pidana korupsi
berarti upaya mengambil harta secara sewenang-wenang yang dilakukan pejabat
atau orang tertentu dan dianggap melanggar hukum yang diancam dengan sanksi
pidana. Dari definisi ini terlihat bahwa korupsi tidak hanya dilakukan terhadap
harta public atau uang negara, tetapi juga harta perusahaan atau suatu lembaga
swasta.
Korupsi
memiliki 2 unsur utama yaitu perbuatan yang dilakukan seseorang untuk
kepentingan diri sendiri, keluarga, golongan atau suatu badan yang langsung
atau tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan dan perekonomian negara;
dan setiap perbuatan yang dilakukan pejabat yang menerima gaji dari keuangan
negara, daerah atau suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara yang
dengan mempergunakan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya oleh karena
jabatannya, langsung atau tidak langsung, membawa keuntungan keuangan atau
materi baginya (Setiawan Budi Utomo, 2007:20).
C.
Hukum Korupsi
Para
ulama sepakat bahwa hukum korupsi adalah haram dan dosa besar (Nasrun Harun
dkk; 974). Hal itu karena korupsi mengandung banyak unsur kejahatan, yaitu :
1. Kecurangan
dan manipulasi karena mengandung unsur penggelapan. Si koruptor melaporkan data
yang tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya, pembelian tiket pesawat dinas
dilaporkan sebanyak 10 juta, padahal dalam realitanya hanya 5 juta.
2. Kedzaliman
karena merugikan rakyat yang telah membayar pajak. Dzalim adalah berbuat
sewenang-wenang. Rakyat kecil yang tidak berkuasa didzalimi oleh penguasa,
pejabat dan petugas negara karena haknya dalam bidang kesehatan, Pendidikan,
dan fasilitas umum terhalangi karena dana pembiayaan untuk sarana tersebut
dikorupsi.
3. Khianat
karena melanggar dan menyalahi sumpah jabatan. Para pejabat atau petugas negara
telah disumpah dengan kitab suci bahwa mereka akan bertanggung jawab dan
melaksanakan tugas yang diberikan dengan penuh amanah. Tetapi dalam perjalanannya
ia tidak menjalankan sumpah itu dan berbuat menyimpang. Sikap ini dianggap
sebagai bentuk khianat yang dilarang oleh Allah SWT.
4. Tindakan
kolusi dengan memanfaatkan fasilitas negara. Modusnya yaitu bekerjasama dengan
pihak tertentu untuk menyelewengkan uang negara atau juga menerima suap dari
pihak tertentu. Atau juga dalam pengangkatan pegawai negeri. Tentu saja, sikap
kolusi ini sangat merugikan negara karena calon pegawai yang semestinya
direkrut dari hasil seleksi yang adil dan transparan ternyata diselewengkan
karena menerima titipan dari kolega.
D.
Bentuk dan model korupsi (Setiawan Budi
Utomo: 21)
1. Ghulul (penggelapan)
Allah menegaskan bahwa
barangsiapa yang berbuat penggelapan, maka akan membawa barang hasil penggelapannya
itu di hari kiamat.
2. Risywah
(Suap)
Berasal dari kata Rassya
Yarussyu yang artinya memercikkan. Menurut istilah, Risywah berarti memberikan
sesuatu dengan adanya maksud tertentu dari pemberi kepada penerima.
Di Indonesia, suap sudah
menjadi sesuatu yang sering terjadi. Suap berdampak besar dan merugian banyak
aspek kehidupan diantaranya yaitu menghilangkan hak orang lain. Banyak kasus di
Indonesia seperti petugas yang disuap menjadi tidak maksimal dalam melayani
karena lebih memprioritaskan penyuap yang lebih besar duitnya. Kemudian hakim
yang menerima suap akan menjatuhkan vonis yang tidak semestinya, menyalahkan
orang yang benar dan membenarkan yang salah. Dengan demikian, suap akan menghancurkan
wibawa hukum dimata masyarakat.
3. Khianat
terhadap amanah
Para koruptor
mengkhianati sumpah jabatan. Karena ia diangkat sebagai pejabat, harus memenuhi
janjinya dalam sumpah jabatan. Dalam Al-Quran dinyatakan: “Wahai orang yang
beriman, jangan mengkhianati Allah, dan Rasul, dan mengkhianati amanat-amanatmu.”
4. Ghasab
Artinya mengambil harta
seseorang dan merampasnya dengan paksa dan semena-mena (Sayyid Sabiq, 1992:
236). Hukum ghasab adalah haram. Jika dicermati, seorang koruptor
bertindak sewenang-wenang terhadap harta orang lain (rakyat). Sebab rakyat
berada dalam wilayah yang lemah, tidak berkuasa. Sayyid Sabiq, pengarang fiqh
Sunnah menyitir dalil ghasab dengan Surah Al-Kahfi ayat 79 yang mengkisahkan
seorang penguasa yang biasa merampas perahu nelayan yang masih bagus (Sayyid Sabiq,
1992: 236). Kasus perampasan itu sama dengan kasus korupsi. Aparat pemerintah berkuasa
terhadap anggaran telah melakukan tindaan semena-mena menganiaya rakyat dengan
cara menggelapkan uang mereka.
E.
Hukuman Koruptor Menurut Fiqh Jinayah
1. Tujuan
hukuman
Hukum islam memiliki tujuan dan maksud
tertentu. Menurut penulis buku Al-Muwafaqaat, imam Syathibi (Imam
Syathibi: 12), bahwa tujuan ditetapkannya hukum syariat disebut dengan maqaashiusyari’ah
yang menetapkan bahwa syariat bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Secara global,
dapat dirangkum menjadi 5 hal, yaitu Hifdzuddin (menjaga agama), hifdzunnafs
(menjaga jiwa/nyawa), hifdzul aql (menjaga akal), hifdzunnasl (menjaga
keturunan), dan hifdzul maal (menjaga harta).
Dalam upaya menjaga 5
komponen itulah, maka harus dilakukan beberapa upaya diantaranya menindak
pelaku kejahatan. Tujuannya bukan untu bersikap kejam, tetapi justru mewujudkan
ketenangan dan ketentraman di tengah masyarakat. Seperti hukuman qishash
bertujuan untuk mewujudkan “hayat” yaitu ketentraman di tengah masyarakat agar
masyarakat tidak merasa diteror dengan pembunuhan. Hal itu telah ditegaskan
Allah dalm Kitab Suci Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 179.
Inilah sebenarnya hikmah
hukuman yang dibahas dalam fiqh jinayah, semata-mata adalah demi keadilan, dan
bukan kekejaman. Banyak pihak menuduh aspek sanksi pidana Islam sebagai
ekspresi kekejaman dan pelanggaran HAM. Tetapi jika direnungkan dan diamati
secara mendalam, dampak dari hukuman itu justru sangat positif.
2. Jenis
hukuman
Dalam Fiqh Jinayah, kriminalitas atau
kejahatan dapat dibagi menjadi 3 bagian (Sayyid Sabiq: 497) yaitu :
a. Qishash
adalah tindak pidana yang menyakiti atau melukai tubuh sehingga hukumannya
sepadan misalnya menghilangkan nyawa, melukai anggota badan. Di Arab Saudi,
pratek qishash bagi pembunuhan aalah dengan cara dipancung. Sementara di Iraq
dengan car digantung. Menurut Sayyid Sabiq, qishash ini adalah untuk memenuhi
hak sesame manusia.
b. Hudud adalah
ketentuan ppasti hukuman yang ditetapkan syariat yaitu Hadd zina, qadzaf,
minuman keras, pencurian, baghy (pemberontakan), judi, riddah.
c. Ta’zir
yaitu hukuman diluar hudud dan qishash yang ditetapkan sesuai dengan ketetapan hakim di pengadilan.
F.
Hukuman Koruptor adalah Ta’zir
Korupsi
berbeda dengan tindak pidana pencurian. Para ulama mensyaratkan sahnya pencurian
apabila barang yang diambil tersimpan dan di luar penguasaan pencuri. Sementara
harta yang dikorupsi berada dalam wilayah kekuasaan pelau. Ia mendapat mendat
penuh dan amanah dari rakyat untuk mengelola anggaran untuk digunakan sebesar-besarnya
bagi kemakmuran masyarakat (Nurul Irfan: 44).
Dari
perspektif inilah, maka pencurian berbeda dengan korupsi. Korupsi bisa
disamakan dengan ghulul (penggelapan) sebagaimana yang terjadi dalam
kisah raibnya harta rampasan perang saat perang Uhud. Tetapi yang sedikit
berbeda yaitu bahwa harta yang diambil berada dalam wewenang pelaku.
Dalam
kasus penerimaan suap yang dilakukan oleh Ibnu Qutaybah, Rasulullah tidak
menghukum dengan hukuman pencurian. Tapi beliau mengumumkan di depan halayak
agar perbuatan itu tidak ditiru. Dalam fiqh jinayah, tindakan beliau ini
dinamaan tasyhir (mengumumkan untuk membuat pelaku jera).
Dalam
kondisi ini, pemerintah memercayakan peradilan kepada hakim. Untuk kasus di
Indonesia, ranah ini masuk dalam wilayah peradilan umum. Hal ini karena
peradilan agama tidak berwenang menanganinya. PA hanya berwenang menangani
kasus perkawinan, cerai, wakaf, dan waris. Kecuali nanti pemerintah memberikan
wewenang tambahan, maka masalah pidana bisa ditangani oleh peradilan agama.
Dalam
merespon sanksi korupsi ini, terdapat kaidah yang sangat terkenal, yaitu tasharruful
imam alarra’iyati manuuthun alal mashlahah, yang artinya kebijakan
pemerintah terhadap rakyat bergantung kepada kemaslahatan. Dalam kasus korupsi
di Indonesia, tentunya harus dibedakan jumlah harta yang dikorupsinya. Semakin
besar harta yang dikorupsi, maka hukuman semakin berat, bahkan bisa mengarah
kepada hukuman mati.
Dengan
demikian, sanksi ta’zir dalam fiqh jinayah ini sudah diterapkan oleh
hakim di Indonesia. Hanya saja, keputusan yang dijatuhkan masih terasa ringan
bila dibanding dengan perbuatannya. Oleh sebab itu masih harus terus dievaluasi
secara cermat dan teliti.
Dr.
Setiawan Budi Utomo menjelaskan variasi hukuman ta’zir ini dengan
mengutip buku Tasyri’ Jinaiy karya intelektual Mesir Abdul Qadir Audah, bahwa
dalam sejarahnya, hukuman ta’zir terdiri dari beberapa macam yaitu:
a. Hukuman
peringatan, ancaman, dan teguran. Dalam riwayat Bukhari Muslim, Nabi Muhammad
SAW pernah menghukum Abu Dzar dengan dampratan sebagai takzir karena
menghina ibu dari sahabat Bilal bin Rabah. Bahkan Ia disuru mencium kaki Bilal.
b. Hukuman
Penjara, baik bersifat sementara (penahanan) seperti Nabi SAW yang pernah menahan
seseorang yang menjadi tersangka pencurian unta (HR Abu Dawud, Ahmad, Nasa’i)
maupun penjara yang bersifat tetap terhadap seseorang yang berulang kali
melakukan tindak pidana ta’zir. Alasan dibolehannya human penjara
sebagai ta’zir adalah tindakan Nabi SAW yang pernah memenjarakan
beberapa orang di Madinah dalam tuntutan pembunuhan. Juga kebijakan khalifah Utsman
yang pernah memenjarakan Dhabi’ ibnul Harits salah satu pencuri dari Bani
Tamim, sampai ia mati di penjara. Demikian pula khalifah Ali pernah
memenjarakan Abdullah bin Zubair di Makkah, ketika ia menola untuk membaiat Ali
(Wardi Muslih: 262)
c. Hukuman
Penyaliban, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah terhadap pelaku tindak keonaran
dan pembangkangan, yaitu Abu Nab (HR Abu Dawud dan Ahmad).
d. Hukuman
mati bagi provokator, mata-mata, penyebar fitnah, dan pembuat makar.
e. Hukuman
pengasingan atau pembuangan seperti yang dilakukan Umar Bin Khattab terhadap
Nasr bin Hajjaj
f. Hukum publikasi Daftar Orang-Orang Tercela
(DOT) seperti terhadap pelaku kejahatan kesaksian palsu, dsb
g. Hukuman
pencopotan jabatan seperti dikemukakan Imam Ibnu Taimiuah dan Ibnu Qayyim.
h. Hukuman
Penyitaan harta dan sanksi berupa denda finansial
G.
Pelaksana Eksekusi Ta’zir
Yang
berwenang untuk melakukan ta’zir ini adalah hakim, karena ia telah
diberikan wewenang. Ta’zir yang dilakukan selain hakim hanya
diperbolehkan untuk 3 personal, yaitu ayah kepada anaknya untuk mendidik, sayyid
(majikan) kepada budaknya pada jaman dulu, serta suami kepada istrinya tatkala nusyuz
(durhaka) (Sabiq: 500).
KESIMPULAN
Dari
paparan di atas telah dijelaskan bahwa hukuman korupsi adalah ta’zir. Sebab
korupsi berbeda dengan pencurian yang dihukum dengan had potong tangan. Hukuman
ta’zir itu bisa lebih berat sesuai pertimbangan hakim. Bahkan bisa
mengarah kepada hukuman mati. Selama ini di negara kita hukumannya belum menimbulkan
efek jera dari perbuatan korupsi. Hukuman mati lebih biasa diterapkan untuk
pelaku terorisme, penyelundup narkotika atau bandar narkoba dalam jumlah besar,
atau pembunuhan lebih dari satu korban daripada untuk koruptor. Oleh karena itu,
maka alternative hukuman ta’zir berupa sanksi seberat-beratnya ini patut
menjadi bahan pertimbangan kita semua.
Tindak
pidana korupsi bisa berupa ghulul (penggelapan). Dalam hal ini bisa berbentuk
penggelembungan anggaran, menggunakan fasilitas negara, dsb. Selain itu korupsi
bisa berupa penyuapan atau sogok.
Sanksi
tindak pidana korupsi adalah ta’zir yaitu disesuaikan dengan keputusan
hakim. Sanksi berupa ta’zir ini bisa lebih berat mengingat korupsi
membawa dampak sosial yang sangat kompleks dan parah. Ta’zir juga bisa
beraneka ragam, seperti penjara, pencelaan, denda materi, bahkan bisa hukumanmati.
Korupsi
berbeda dengan pencurian, karena barang yang diambil berada dalam wilayah
kekuasaannya. Sedangkan benda dalam pencurian terjaga dan terlindungi serta
berada dalam kekuasaan orang lain.
Fiqh
Jinayah (Hukum Pidana Islam) sangat relevan untuk diterapkan dalam pembangunan
hukum di Indonesia, namun semuanya perlu bertahap. Sama dengan hukum ahwal
syakshsiyyah yang diundangkan melalui peradilan agama. Penerapan fiqh
jinayah ini memerlukan pikiran dari para akademisi dan praktisi untuk
merumuskan lebih jelas dan memasukkannya dalam RUU Pidana. Bahkan menurut guru
besar UI, Prof. Dr. Jimly Ashsiddiqie, masih diperlukan ribuan doktor untuk
mengkaji dan mengaktualisasikan kembali fiqh jinayah dalam pembangunan hukum Indonesia
(Suprayogo, 2010).
DAFTAR
PUSTAKA
Ali,
Atabik, Kamus Kontemporer, penerbit Krapyak, cet 8 1998.
Budi
Utomo, Setiawan, Fiqh Aktual, GIP, Jakarta cet 1, 2006.
Haroen,
Nasrun, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam PT Ichtiar Van Hoeve, jilid 3, cet 1, Jkt
2001
https://journal.walisongo.ac.id/index.php/ihya/article/view/1735/pdf,
akses 7-4-2023
Irfan,
Nurul, Tindak Pidana Korupsi dalam Fiqh Jinayat (Disertasi program doctoral UIN
Syarif Hidayatullah) Jakarta, Balitbang Depag, cet 1 2008
Sabiq,
Sayyid, Fiqhussunnah, Darul Fikr, Beirut, cet 1, 1992.
Santoso,
Topo, Membumikan pidana Islam, GIP Jakarta, cet 1, 2003
Komentar
Posting Komentar